Pengelolaan
produksi rumput laut memerlukan perbaikan-perbaikan secara ekologi karena belakangan ini kegiatan budidaya rumput laut sering mengalami kendala akibat adanya kondisi lingkungan yang kurang
optimal, munculnya gulma, penyakit ice-ice
dan adanya gangguan hama ikan herbifora. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui peran rumput laut H.
durvillaei dalam memperbaiki pengelolaan produksi rumput laut E. spinosum di Perairan Pantai Geger,
Desa Peminge, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung-Bali. Data yang diambil meliputi data berat, panjang dan data kualitas air sebagai pendukung. Pengambilan data dilakukan setiap 10 hari selama 40
hari. Pertumbuhan yang paling baik diperlihatkan oleh model E.
spinosum yang dipagari H. durvillaei sebesar 456 g. H.
durvillaei berperan dalam
meningkatkan produksi E. spinosum
sebesar 68,7% jika dibandingkan dengan kontrol. Kondisi
kualitas air tergolong sesuai peruntukan budidaya rumput laut dengan kisaran
suhu 27,7-30,1 oC, salinitas 30,0-32,3 ppt, DO 3,9-5,5 ppm, pH
7,9-8,4, arus 0,1-0,2 m/s, dan kecerahan 100%.
Blog Dianto Komang
Jumat, 07 April 2017
Senin, 10 Oktober 2016
KAJIAN STATUS TROFIK DANAU BATUR DITINJAU DARI KANDUNGAN UNSUR HARA SEBAGAI UPAYA PENGELOLAAN KUALITAS AIR SECARA BERKELANJUTAN
Danau adalah cekungan di permukaan bumi yang digenangi oleh air yang biasanya
menempati daerah yang relatif tidak luas pada permukaan bumi dibandingkan
dengan laut dan daratan (Effendi, 2003). Provinsi Bali memiliki empat buah
danau yang salah satunya yaitu Danau Batur yang meruapan danau yang paling
besar dibandingkan yang lainnya (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan
Penanaman Modal Kabupaten Bangli, 2010).
Danau Batur terletak di kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli yang
termasuk dalam 15 Danau Prioritas Nasional yang dipilih berdasarkan parahnya
tingkat kerusakan dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat (Suwanto et al.,
2011). Secara geografis terletak pada posisi 115°22’42,3”–115°25’33,0” Bujur
Timur dan 8°13’24,0”–8°17’13,3” Lintang Selatan dengan ketinggian 1050 m dpl.
Danau tersebut memiliki luas permukaan air sebesar 16,05 km2, panjang
danau sekitar 7,5 km, lebar 2,8 km, dan kedalaman maksimum sekitar 60–70 m.
Volume tampung air Danau Batur adalah sebesar 815,58 juta m3 dengan
luas daerah tangkapan air seluas 105,35 km2 (Arthana et al., 2009). Terdapat 6 desa yang
berbatasan langsung dengan pinggir danau yang biasa disebut dengan desa bintang danu yang meliputi desa
Songan, Batur, Kedisan, Buahan, Abang dan Trunyan.
Danau Batur
dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai sumber air dalam usaha pertanian,
tempat budidaya ikan seperti Kantong Jaring Apung (KJA), pelabuhan dan sebagai
tempat wisata (Suryati, 2012). Pemanfaatan dalam berbagai sektor ini
menyebabkan kondisi danau ini mengalami berbagai tekanan dan permasalahan yang
cukup serius, seiring meningkatnya aktivitas masyarakat di badan air maupun di sekitar danau. Permasalahan tersebut seperti
terjadinya kerusakan daerah tangkapan air karena adanya ilegal loging,
kebakaran hutan, erosi dan sedimentasi, kerusakan sempadan karena pesatnya
pembangunan dan pemukiman penduduk sehingga banyak kegiatan masyarakat seperti
kegiatan pertanian mencapai bibir danau, pencemaran air oleh air limbah dan
sampah serta eutrofikasi sebagai akibat dari pencemaran pupuk dan pestisida
oleh aktivitas pertanian, dan sedimentasi yang mengakibatkan meningkatnya laju
pendangkalan danau dan disertai pertumbuhan enceng gondok yang mengganggu
populasi biota air yang ada di danau (Yudilastiantoro dan Cahyono, 2012).
Pendangkalan Danau
Batur juga dipicu oleh adanya peningkatan jumlah kerambah jaring apung, dimana
berdasarkan data KLH (2014), jumlah KJA pada bulan oktober 2014 sebanyak 5015
buah, terjadi peningkatan 3 kali dibandingkan tahun 2011. Berdasarkan survey
lapangan yang dilakukan, saat ini jumlah keramba ini sudah jauh lebih banyak
dan semakin ke tengah. Peningkatan jumlah KJA berdampak pada peningkatan
jumlah pakan yang diberikan oleh pembudidaya daya ikan sehingga besar
kemungkinan jumlah limbah yang dihasilkan baik dari sisa pakan maupun feses
akan semakin tinggi pula.
Tingginya
kandungan limbah yang dihasilkan akan berdampak pada status trofik perairan itu
sendiri. Status trofik merupakan indikator tingkat kesuburan suatu perairan
yang dapat diukur dari unsur hara (nutrien) dan tingkat kecerahan serta
aktivitas biologi lainnnya yang terjadi di suatu badan air (Shaw et al., 2004; Leitão, 2012).
Penggolongan status trofik meliputi hipertrofik, eutrofik, mesotrofik,
oligotrofik serta distrofik (Welcomme, 2001, Wetzel, 2001, Jorgensen, 1980).
Namun secara garis besar dikenal 3 kategori yaitu eutrofik (kesuburan tinggi),
mesotrofik (kesuburan sedang) dan oligotrofik (kesuburan rendah). Status trofik
Danau Batur berdasarkan kajian dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran status trofik Danau
Batur saat ini sehingga dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk perencanaan
pembangunan dan pengelolaan danau ini secara berkelanjutan.
TEKNOLOGI KERAMBA JARING APUNG (KJA) DOUBLE LAYER SEBAGAI SOLUSI PENINGKATAN PRODUKSI BUDIDAYA IKAN DI DANAU BATUR, BALI
RINGKASAN
Tujuan dari penerapan program ini adalah untuk mengoftimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada saat ini serta meningkatkan
nilai tambah dan
efisiensi pembudidaya ikan di sekitar kawasan danau Batur yang juga akan berdampak langsung pada peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan para pembudidaya serta sebagai upaya mengoptimalkan program
pemerintah tentang budidaya ikan secara berkelanjutan yang ramah lingkungan. Tujuan lain yang lebih mengkhusus yaitu meningkatkan
kreativitas mahasiswa yang juga mempunyai manfaat bagi khalayak para
pembudidaya ikan. Dengan adanya teknologi ini diharapkan mampu
meningkatkan hasil dan pendapatan pembudidaya ikan Khususnya kelompok
pembudidaya ikan Nila Sari, meminimalisasikan proses pencemaran kualitas air
yang saat ini terjadi di danau Batur, memperkenalkan sebuah teknologi inovasi
yang memiliki nilai efisiensi yang tinggi serta mengupayakan meningkatkan
kesejahteraan para pembudidaya serta masyarakat dikawasan danau Batur. Metode pelaksanaan
program yang digunakan pada teknologi KJA Double layer
ini yaitu metode KJA berlapis atau
bertingkat dimana pada metode ini jaring yang
digunakan yaitu dua buah jaring (jaring minor untuk ikan mas dan jaring mayor
untuk ikan nila) yang dianggap efisien dan
produktivitasnya tinggi. Adapun rangkaian kegiatan dalam
penerapan program ini yaitu studi literatur, survey, pembuatan KJA, penerapan
lapangan dan analisa, kesimpulan dan saran. Sedangkan prosedur dalam
pelaksanaan program ini yaitu persiapan alat dan bahan, dan pelaksanaan
program.
Kata Kunci :
KJA, Double layer, Danau Batur.
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN SECARA BERKELANJUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PSPBM) MELALUI IMPLEMENTASI NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SETEMPAT
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sumberdaya perikanan merupakan salah satu potensi yang cukup menjanjikan
dalam mendukung tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Tetapi
sebagai konsekuensinya sumberdaya perikanan yang berbasis perairan yang
merupakan milik bersama (common property) dan terbuka untuk umum (open acces)
menyebabkan pemanfaatannya cenderung melebihi daya dukung sumberdaya (over eksploitation) dan bersifat
destruktif (Arief, 2008).
Kondisi ini semakin diperparah oleh peningkatan jumlah armada penangkapan,
penggunaan alat dan teknik serta teknologi penangkapan yang tidak ramah
lingkungan. Disamping itu berbagai aktivitas manusia baik di wilayah pesisir
dan laut serta kegiatan di daratan (upland)
yang juga dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan. Kondisi ini
menimbulkan tekanan lingkungan bahkan cenderung merusak sumberdaya alam.
Terkait dengan hal tersebut diatas maka diperlukan sebuah pengelolaan sumberdaya
perikanan secara berkelanjutan yang melibatkan semua komponen yang salah
satunya yaitu masyarakat.
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) merupakan
proses pemberian wewenang, tanggungjawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengelola sumberdaya perikanannya sendiri (Tulungen, 2000). Sedangkan masyarakat dalam definisi PSPBM ini adalah
sekelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Namun rezim pengelolaan
sumberdaya ini masih memiliki kelemahan yang bila tidak diselesaikan dapat
membuat rezim ini tidak efektif pelaksanaannya. Oleh karena itu implementasi
nilai kearifan lokal pada suatu daerah sangat perlu diterapkan, mengingat nilai
kearifan lokal merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia
untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus
bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam
sehingga dapat mencapai pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
Di samping itu dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagai
pengganti UU No. 09 Tahun 1985 dalam pasal 6 ayat (2) berbunyi : Pengelolaan
perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan harus
mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan
peran-serta masyarakat. Dengan demikian pembahasan tentang “Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) Melalui Implementasi Nilai
Kearifan Lokal Masyarakat Setempat” menjadi sangat penting diketahui dan dipelajari
untuk kepentingan pengelolaan yang akan datang.
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu :
1.
Bagaimana penerapan
sistem pengelolaan Perikanan
Berbasis Masyarakat (PBM) atau Community Based Management (CBM) ?
2.
Bagaimana bentuk
pengelolaan berbasis masyarakat melalui nilai kearifan lokal yang ada di
Indonesia
3.
Bagaimana hubungan
kearifan lokal dengan upaya pengembangan sumberdaya perikanan berkelanjutan ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1.
Sebagai salah satu
pemenuhan prasyarat tugas mata kuliah konservasi sumberdaya hayati perairan yang diberikan oleh dosen pengampu.
2. Untuk dapat mengetahui penerapan sistem pengelolaan Perikanan Berbasis
Masyarakat (PBM) atau Community Based Management (CBM), bentuk pengelolaan
berbasis masyarakat melalui nilai kearifan lokal yang ada di Indonesia, dan hubungan
kearifan lokal dengan upaya pengembangan sumberdaya perikanan berkelanjutan
1.4
Manfaat
Manfaat
yang dapat diperoleh dari penulisan
makalah ini yaitu dapat
mengetahui pengelolaan sumberdaya
perikanan yang berbasis masyarakat, bentuk pengelolaan berbasis masyarakat
melalui nilai kearifan lokal yang ada di Indonesia, serta hubungan kearifan
lokal dengan upaya pengembangan sumberdaya perikanan berkelanjutan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis
masyarakat
Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa
disebut Community-Based Management merupakan
pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan pengetahuan dan
kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaanya yang dimana
dalam hal ini masyarakat lokal terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan
sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya yang meliputi berbagai dimensi
seperti perencanaan, pelaksanaan, serta pemanfaatan hasil-hasilnya (Latama,
2002). Sedangkan pengertian dari pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis
masyarakat dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang,
tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola suberdaya
perikananannya sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan
keinginan, tujuan serta aspirasinya
(Nikijuluw, 2002).
Pengelolaan berbasis-masyarakat sudah merupakan
suatu pendekatan yang banyak dipakai di dalam program-program pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir di berbagai negara di dunia ini, khususnya di
negara-negara berkembang. Pendekatan ini
secara luas digunakan di wilayah Asia Pasifik seperti di negara-negara Filipina
dan Pasifik Selatan. Keberhasilan pendekatan ini semakin banyak dan didokumentasi
secara baik (Polotan-de la Cruz, 1993; Buhat, 1994; Pomeroy, 1994; White et.
al., 1994; Ferrer et.al., 1996; Pomeroy and Carlos, 1997; World Bank,1999). Di
negara-negara dimana sistem pemerintahannya semakin mengarah pada
desentralisasi dan otonomi lokal, pendekatan berbasis-masyarakat ini dapat
merupakan pendekatan yang lebih tepat guna, lebih mudah dan dalam jangka
panjang dapat terbukti lebih efektif dalam hal biaya (Tulungen, 2000).
Untuk di daerah Asia pendekatan pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir berbasis-masyarakat telah dicobakan diberbagai
proyek pembangunan yang dibiayai oleh Bank Pembangunan Internasional. Sebagai
contoh, Program Sektor Perikanan di Filipina yang bernilai 150 juta US dolar (Albaza-Baluyut,
1995), Proyek Coremap di Indonesia, juga berbagai proyek bantuan bilateral
lainnya (seperti CRMP-Filipina, Proyek Pesisir-Indonesia), memasukkan
pengelolaan berbasis-masyarakat sebagai bagian dari disain program.
Upaya-upaya seperti ini juga sudah di mulai di
Sulawesi Utara sejak tahun 1997 untuk mengadaptasikan pendekatan-pendekatan
berbasis-masyarakat ini dalam konteks pembangunan dan pengelolaan di Indonesia
(Crawford & Tulungen, 1998a, 1998b, 1999a, 1999b; Tulungen et.al. 1998,
1999; Crawford et.al 1998) lewat Proyek Pesisir (Coastal Resources Management
Project – CRMP). Proyek Pesisir yang dimulai sejak tahun 1997 ini didasarkan
pada pemikiran/hipotesa bahwa pendekatan partisipatif dan desentralistis akan mengarah pada lebih berkelanjutan dan
adil/seimbangnya pengelolaan sumberdaya pesisir di Indonesia. Setelah melakukan kegiatan dan upaya selama
tiga tahun di Sulawesi Utara, contoh awal praktek pengelolaan sumberdaya
pesisir berbasismasyarakat mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan yang
mendukung validitas pemikiran/hipotesa dari Proyek Pesisir (Tulungen, 2000).
2.2
Kerarifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal
(lokal wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (lokal).
Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, lokal berarti
setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum
maka lokal wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan
setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Kisia, 2010).
Dalam disiplin antropologi dikenal dengan istilah
lokal genius, dimana merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam
kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas
dan komunitas tertentu. Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan
lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta
adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di
dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati,
dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus
membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.
Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan
bahwa kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam
semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh
berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan lokal tidak
hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah
laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani
manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari
maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh. Kearifan lokal adalah
dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan,
pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat
pedesaan Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan
budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu
dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi
dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama (Kisia, 2010).
2.3
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara
Berkelanjutan
Salah satu jenis pengelolaan sumberdaya perikanan
adalah pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (ICZM) yang merupakan
pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat
di kawasan pesisir, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan
pesisir dan sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan yang terdapat di
dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan guna mencapai pembangunan
yang optimal dan berkelanjutan (Bengen, 2004).
Ada empat alasan pokok yang dikemukakan sebagai
dasar pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu yaitu : (1) keberadaan
sumberdaya pesisir dan lautan yang besar dan beragam, (2) peningkatan
pembangunan dan jumlah penduduk, (3) pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi
global dari poros Eropa – Atlantik menjadi poros Asia Pasifik dan (4) wilayah
pesisir dan lautan sebagai pusat pengembangan kegiatan industri dalam proses
pembangunan menuju era industrialisasi (Kisia, 2010).
Studi mengungkapkan bahwa perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan yang selama ini
dijalankan bersifat sektoral dan terpilah-pilah. Padahal karakteristik dan
alamiah ekosistem pesisir dan lautan yang secara ekologis saling terkait satu
sama lain termasuk dengan ekosistem lahan atas, serta beraneka sumberdaya alam
dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan yang pada umumnya terdapat
dalam suatu hamparan ekosistem pesisir, mensyaratkan bahwa pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya
dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holistik. Pengelolaan wilayah
pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir dan
lautan serta ruang mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya (Bengen,
2004).
Sementara itu Dahuri (2003) telah menulis
indikator pembangunan berkel pengelolaan sumberdaya keanekaragaman hayati laut,
yang minimal harus meliputi 4 dimensi yaitu: (1) ekonomi, (2) sosial, (3) ekologi,
(4) pengaturan (governance).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) Atau Community
Based Management (CBM)
Pengelolaan yang berbasis masyarakat (PBM/CBM) adalah
suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat
lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya
alam yang terkandung didalamnya. Sejarah pengelolaan sumberdaya alam di wilayah
pesisir berbasis masyarakat (Community Based Management, CBM) sebenarnya telah
ada sejak jaman dahulu, dimana dimananenek moyang mulai memanfaatkan sumberdaya
alam tersebut untuk menunjang kehidupannya. Pengelolaan sumberdaya alam pada
waktu itu masih bersifat lokal dan masih sederhana, dimana struktur masyarakat
dan aktivitasnya masih sederhana dan juga belum banyak dicampuri oleh pihak
luar. Proses-proses pengelolaan mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengawasan sampai pada penerapan sanksi hukum, dilakukan secara
bersama oleh masyarakat.
Sebagai suatu model, pengelolaan sumberdaya
perikanan berbasis masyarakat memiliki kelemahan dan kelebihan, yang tentunya
harus diperhatikan manakala kita mengembangkan sebuah model CBM sumberdaya
perikanan. Beberapa kelebihan (nilai-nilai positif) dari model CBM ini adalah:
1. Mampu mendorong pemerataan (equity) dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan.
2. Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat lokal
yang spesifik.
3. Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh
anggota masyarakat yang ada.
4. Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan
ekologi.
5. Responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi
sosial dan lingkungan lokal.
6. Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola
sumberdaya secara berkelanjutan.
Sementara itu, kelemahan (nilai-nilai negatif)
dari pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat antara lain adalah:
1. Hanya dapat diterapkan dengan baik pada kondisi
masyarakat yang strukturnya masih sederhana dengan skala dan wilayah kegiatan
yang kecil.
2. Masyarakat memiliki keterbatasan seperti tingkat
pendidikan, kesadaran akan pentingnya lingkungan.
3. Terjadinya ketimpangan dalam implementasinya
karena tidak didukung oleh pemerintah.
4. Hanya efektif untuk kawasan pesisir dan laut
dengan batas geografis yang jelas atau terbatas.
5. Rentan terhadap intervensi luar atau peledakan
permintaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
3.2
Bentuk Pengelolaan Berbasis Masyarakat Melalui Nilai Kearifan
Lokal
Nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam masyarakat
perlu didukung, diperkuat dan difasilitasi agar tetap berjalan secara
berkelanjutan. Indonesia mempunyai ragam budaya dan adat istiadat yang tersebar
diseluruh nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Fenomena kebhinekaan tersebut
memberikan ragam bentuk pengelolaan sumberdaya, tetapi tujuan utama
pengelolaannya relatif sama, yaitu mengelola sumberdaya dan membagi alokasi
sumberdaya secara adil bagi para pemanfaat sumberdaya tersebut sehingga
terwujud keharmonisan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya. Beberapa bentuk
pengelolaan sumberdaya perikanan antara lain :
1.
Tradisi/Hukum Adat
Laot Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam.
Hukum Adat Laot merupakan hukum-hukum adat yang diperlukan masyarakat
nelayan dalam menjaga ketertiban yang meliputi penangkapan ikan, pemeliharaan
sumberdaya ikan dan biota laut lainnya, serta untuk menjaga kehidupan
masyarakat nelayan yang hidup di wilayah pantai. Secara hukum, Hukum Adat Laot
bersifat tertutup, artinya tidak dapat dihilangkan dalam struktur pemerintahan
di Aceh sehingga memiliki kekuatan dan kewenangan tertentu dalam
pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Hukum Adat Laot di Aceh
dapat bersifat terbuka, artinya, dalam menerapkan Hukum Adat Laot tersebut
senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hukum Adat Laot dari
segi adat pemeliharaan ingkungan meliputi:
a.
Dilarang melakukan
pemboman, peracunan dan pembiusan, penyetroman dengan alat listrik, pengambilan
terumbu karang, dan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan hidup dan
biota lainnya.
b.
Dilarang
menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir dan pantai seperti pohon arun
(cemara), pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya.
c.
Dilarang menangkap
ikan/biota lainnya yang dilindungi seperti lumba-lumba dan penyu.
2. Tradisi
Pamali Mamanci Ikang di Desa Bobaneigo Maluku Utara
Kearifan tradisional Pamali Mamancing Ikan dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan (pesisir dan laut) secara umum adalah larang atau boboso, tetapi
pengertiannya dalam pengelolaan ikan teri dan cumi-cumi menyangkut pada
beberapa batasan, seperti pelarangan pada musim pemijahan, pembatasan jumlah
alat tangkap, pembatasan frekwensi penangkapan, tidak dibenarkan orang luar
memiliki usaha bagan, dan pelarangan penebangan hutan bakau (soki) karena
luluhan daun dan dahan pohon bakau dianggap sebagai asal-usul ikan teri.
Pengaturan Pamali Mamancing Ikan merupakan suatu kebijakan yang arif
walaupun hanya dihasilkan melalui suatu proses musyawarah di tingkat desa.
Seperti penetapan waktu pelaksanaannya disesuaikan dengan musim cengkeh, dimana
masyarakat mulai meninggalkan laut dan beralih ke lahan pertanian dan
perkebunan cengkehnya. Panen cengkeh dilakukan secara gotong royong (bari),
sehingga bagi nelayan yang tidak memiliki kebun turut terlibat dalam panen
tersebut untuk menutupi biaya hidupnya selama dilarang melaut. Konsep ini
sangat memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, sehingga pada saat
pelaksanaan tradisinya, masyarakat nelayan tidak kehilangan mata
pencahariannya, sebaliknya masyarakat petani juga ikut merasa dibantu.
3.
Tradisi Awig-awig di Lombok Barat, NTB
Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat,
untuk mengatur masalah tertentu, dengan maksud memelihara ketertiban dan
keamanan dalam kehidupan masyarakat. Dalam awig-awig diatur perbuatan yang
boleh dan yang dilarang, sanksi serta orang atau lembaga yang diberi wewenang
oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi. Adanya pengaturan lokal (awig-awig)
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dipengaruhi oleh masalah
pokok yaitu konflik antar nelayan. Apapun munculnya konflik dalam kegiatan
pemanfaatan sumberdaya perikanan dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan
(ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin
sedikit (mata pencaharian), lingkungan politik lokal, perubahan teknologi dan
perubahan pasar. Sejak dulu, masyarakat Lombok Barat telah mengenal aturan yang
berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, baik yang ada di darat
maupun di laut. Hal ini tercermin dari kebiasaan adat istiadat, yaitu upacara
Sawen. Secara umum sawen adalah larangan untuk melakukan kegiatan penangkapan
ikan yang berlaku di zona dan waktu yang sudah ditetapkan sebelumnya melalui
kesepakatan-kesepakatan lokal.
4.
Tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku
Sistem pengelolaan berbasis masyarakat untuk kedua sumberdaya darat dan
laut umum ditemukan di Kepulauan Maluku Tengah dan Tenggara yang dikenal dengan
istilah sasi. Secara umum sasi merupakan ketentuan hukum adat tentang larangan
memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan
dalam jangka waktu tertentu pula. Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk
mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga
mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut.
Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut
pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan
larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya, juga merupakan suatu upaya untuk
memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan
pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh
warga/penduduk setempat.
Dasar Hukum & Kelembagaan Sasi yaitu peraturan-peraturan yang
ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat (Saniri; di Haruku
disebut Saniri’a Lo’osi Aman Haru-ukui, atau “Saniri Lengkap Negeri Haruku”).
Keputusan kerapatan adat inilah yang dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya
kepada lembaga Kewang, yakni suatu lembaga adat yang ditunjuk untuk
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan peraturan sasi tersebut.
Lembaga Kewang di Haruku dibentuk sejak sasi ada dan diberlakukan di desa
ini. Struktur kepengurusannya adalah sebagai berikut:
1. Seorang Kepala Kewang Darat;
2. Seorang Kepala Kewang Laut;
3. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Darat;
4. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Laut;
5. Seorang Sekretaris
6. Seorang Bendahara
7. Beberapa orang Anggota.
Adapun para anggota Kewang dipilih dari setiap soa (marga) yang ada di
Haruku. Sedangkan Kepala Kewang Darat maupun Laut, diangkat menurut warisan
atau garis keturunan dari datuk-datuk pemula pemangku jabatan tersebut sejak
awal mulanya dahulu. Demikian pula halnya dengan para pembantu Kepala Kewang.
Sebagai pengawas pelaksanaan sasi, Kewang berkewajiban: (a) mengamankan
Pelaksanaan semua peraturan sasi yang telah diputuskan oleh musyawarah Saniri
Besar; (b) melaksanakan pemberian sanksi atau hukuman kepada warga yang
melanggarnya; (c) menentukan dan memeriksa batas-batas tanah, hutan, kali, laut
yang termasuk dalam wilayah sasi; (d) memasang atau memancangkan tanda-tanda
sasi; serta (e) menyelenggarakan Pertemuan atau rapat-rapat yang berkaitan
dengan pelaksanaan sasi tersebut.
5.
Patorani di Sulawesi Selatan
Patorani adalah kearifan lokal yang diterapkan oleh masyarakt bahari di
Sulawesi Selatan. Nelayan pattorani merupakan salah satu komunitas nelayan
di Sulawesi Selatan yang kondisi realitasnya sampai saat ini mengelola,
memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hayati laut berdasarkan
norma-norma dan nilai-nilai budaya melalui pegunaan teknologi cara ( soft
ware technology) maupun teknologi alat (hard ware technology) yang bersifat
partisipatif, assosiatif, analogik dan orientif yang melembaga serta
dipertahankan melalui pengendalian sosial ( social control ) oleh
setiap warganya.
Patorani adalah penangkapan ikan terbang, alat penangkapan patorani
terbuat dari anyaman bambu berbentuk silinder dengan panjang 100
cm – 125 cm dengan diameter berkisar 50 cm – 60
cm, nelayan yang mengoperasikan penangkapan bubu/pakkaja, alat
penangkapan bubu/pakkaja, terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai
pelampung dan tempat mengikat alat penangkap/daun kelapa, alat ini
dipasang dengan cara meletakkan di permukaan laut dan dibiarkan terapung-apung
(ammanyu-manyu). Jumlah pakkaja yang dipergunakan oleh kelompok pattorani
sekitar 10-20 buah. Dan setiap pakkaja diletakkan sepotong bambu yang
panjangnya kurang lebih 50 cm yang diikat bersama” gosse” (sejenis rumput
laut yang baunya disenangi ikan terbang). Pada bagian dalam pakkaja
diikatkan sebuah balla-balla, yaitu tempat bertelurnya ikan terbang, dengan
ukuran 2 x 1 meter, selanjutnya, pada bagian luar pakkaja dikaitkan daun
kelapa bersama tandanya.
Sistem pengetahuan tentang pelayaran nelayan pattorani meliputi unsur-unsur
pengetahuan seperti : a) Pengetahuan tentang berlayar : adanya kepercayaan
terhadap roh-roh yang mendiami satu tempat atau lokasi penagkapan. Untuk
menghindari murkanya maka kesemuanya harus diselamati melalui upacara selamatan
membuang daun sirih dan tembakau b) Pengetahuan tentang musim dan hari
pemberangkatan : pa’torani berangkat pada bulan Maret atau bulan April
(Musim Timur). Mereka percaya, bahwa kesalahan dalam penentuan waktu
pemberangkatan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bahkan dapat
menimbulkan hal yang fatal. Oleh karena itu pencatatan waktu pemberangkatan
harus diperhitungkan secara cermat dan teliti mungkin. Penentuan hari baik dan
hari jelek berdasarkan pada tradisi dan kebiasaan yang sudah lama dipertahankan
atau berdasarkan pengalaman yang sudah berlangsung kali teruji kebenarannya,
seperti hari pemberangkatan sedapat mungkin hari selasa, rabu, sabtu dan
minggu. Selain hari itu merupakan pantangan untuk dijadikan sebagai hari
pemberangkatan. c) Pengetahuan tentang awan : kondisi awan juga menjadi pedoman
bagi nelayan torani dalam melakukan aktifitasnya, seperti; bila awan tidak
bergerak tetap pada posisinya berarti teduh dan angin tidak bertiup
kencang, bila awan bergerak selalu berubah-ubah bentuk berarti akan ada
angin kencang atau badai, bila arah awan gelapnya dari barat akan menuju
timur berarti akan datang hujan atau
badai. d) Pengetahuan tentang bintang (mamau) dan Bulan : tanda lain yang
sering juga diperhatikan adalah dengan
melihat bintang, seperti; bintang porong- porong akan terjadi musim barat,
bintang tanra tellu akan terjadi hujan lebat,
bintang wettuing menjadi pedoman berlayar, bintang mano dan sebagainya.
e) Pengetahuan tentang petir dan kilat : petir dan kilat dimaknai suatu
kekuatan bertujuan untuk mengusir/mengejar setan dilaut yang mengganggu nelayan
beraktivitas. Oleh karena itu, setiap ada petir maupun kilat nelayan-nelayan
pattorani menghetikan aktivitas sejenak lalu membaca matera doa keselamatan. f)
Pengetahuan tentang gugusan karang (sapa) : pengetahuan mengenai keberadaan
gugusan karang (sapa) melalui tanda-tanda seperti; adanya pantulan sinar matahari yang nampak kelihatan
bercahaya, keadaan ombak disekitar karang tenang dan tidak berarus, adanya gerombolan burung yang
terbang rendah dengan menukik dan berkicau. g) Pantangan (pamali) yang berkaitan
dalam aktivitas pelayaran : hal-hal yang harus dihindari selama aktivitas
pelayaran menurut kepercayaan nelayan adalah; tidak boleh bersiul-siul karena
akan mengundang datangnya angin, dilarang mencelupkan alat-alat dapur dilaut
karena dapat mendatangkan badai, Dilarang menghalangi atau menegur jalan
seorang nelayan apabila hendak menuju ke perahu, dialarang memanggil orang
yang berada didaratan apabila sedang
berada diatas perahu, dilarang takabbur atau
bicara hal-hal yang tidak sopan karena mengundang datangnya ikan hiu,
dilarang tidur tengkurap atau tiarap selama berlayar.
6.
Nyepi Segara di Nusa Penida, Bali
Nyepi segara adalah kepercayaan masyarakat sekitar untuk melaksanakan filosofi
Hindu Tri Hita Karana (hubungan harmonis dengan Tuhan, Lingkungan, dan manusia).
Ritual Nyepi Segara adalah bentuk untuk menjaga hubungan harmonis denganb lingkungan
dan Tuhan. Nyepi Segara dilakukan setiap tahunnya untuk menghormati Dewa laut
dan memberikan kesempatan kepada laut untuk beristirahat. Biasanya Nyepi segara
atau Nyepi laut dilaksanakan setiap sasih kapat, kira-kira bulan oktober setiap
tahunnya. Selama Nyepi Segara, sama sekali tidak ada aktivitas di laut selama
satu hari penuh (Darma I N., 2010).
Dari sisi sistem budaya atau adat di kawasan Nusa Penida TNC-CTC juga
melakukan inisiasi kebijakan adat (awig-awig desa) terkait dengan lingkungan
pesisir. Jika sebelumnya di kawasan Nusa Penida sudah memiliki awig-awig
terkait perlindungan bakau, TNC-CTC menginisiasi masyarakat, bendesa adat,
majelis alit, nelayan, maupun pengusaha pariwisata di Nusa Penida untuk membuat
suatu awig-awig larangan pengambilan pasir pantai untuk kebutuhan membangun
rumah, serta larangan pengambilan terumbu karang untuk dijual.
3.3
Hubungan Kearifan Lokal dengan Pengembangan Sektor
Perikanan
Kearifan lokal adalah suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada
dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. kearifan lokal
merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi
dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal
tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda.
Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya
berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan
maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal
bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu,
tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat..
Pengertian pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan mengacu pada UU RI
No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang berbunyi
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan
hidup.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan hendaknya dilakukan berdasarkan prinsip keberlanjutan demi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemanfaatan terhadap Sumberdaya alam (SDA)
seharusnya didasari pada tujuan jangka panjang, sehingga anugerah SDA tersebut
tidak dipandang sebagai kenikmatan sesaat. Namun itulah yang saat ini terjadi
sangat ironis memang jika potensi yang begitu besar tersebut dengan
cepatnya tergerus akibat pola pengelolaan yang tidak mengindahkan
prinsip-prinsip keseimbangan (Principle of harmony) dan nilai-nilai lestari
(sustainable values). Faktanya, pada sub-sektor perikanan tangkap misalnya,
menunjukan bahwa stok ikan dibeberapa wilayah perairan laut seperti Selat
Malaka, Laut Jawa, Pesisir Selatan Sulawesi, Selat Bali dan Laut Arafura telah
mengalami tangkap jenuh (over fishing), inilah akibat dari pengelolaan
yang telah mengindahkan prinsip keberlanjutan (sustainable), sehingga
dikhawatirkan jika tidak ada pengelolaan yang arif, maka eksploitasi terhadap
sumberdaya ikan akan melebihi produksi potensi lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY).
Sebagai gambaran total MSY sumberdaya ikan laut Indonesia saat ini sebesar 6,5
juta ton/tahun. Kasus lain pada sub-sektor perikanan budidaya yaitu ambruknya
masa keemasan udang windu sejak beberapa dekade yang lalu dan sampai saat ini
masih menyisakan masalah jangka panjang. Hal ini terjadi karena pola
pengelolaan yang hanya mengejar kapasitas produksi yang tak terukur dengan
input teknologi yang tidak terkontrol tanpa mempertimbangkan kemampuan daya
dukung lahan (carryingcapacity), dan
kelangsungan ekosistem pada kenyataannya telah memicu terjadinya
degradasi lahan dan merebaknya virus WSSV
yang sampai saat ini menjadi momok menakutkan bagi pembudidaya. Belum lagi,
kerusakan terhadap ekosistem pesisir sebagai akibat eksploitasi yang tidak
dilakukan secara arif, padahal ekosistim pesisir adalah tempat pemijahan (nursery ground), asuhan, mencari makan
dan membesarkan diri jenis ikan dan biota laut lainnya.
Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma
dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti
religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak kususnya dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap
lingkungan hidup yang ada dalam masyarakat Indonesia yang diwariskan secara
turun temurun menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Jika
kesadaran tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan menjadi kekuatan yang
sangat besar dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Nilai-nilai moral yang terkandung dalam prinsip kearifan lokal sudah
seharusnya menjadi dasar bagi pengelolan perikanan yang berkelanjutan. Prinsip sustainable saat
ini telah menjadi syarat mutlak pada tataran perdagangan global, sehingga
apapaun bentuknya usaha perikanan sudah seharusnya memegang prinsip nilai-nilai
lestari (sustainable values), ramah
lingkungan (pro-enviroment), ecological awareness, dan social awareness.
Disamping itu, pengelolaan perikanan berbasis kearifan lokal sudah saatnya
memberikan wewenang, tanggung jawab dan kesempatan sebesar-besarnya kepada
peran serta masyarakat melalui pola pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis
masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam masyarakat perlu
didukung, diperkuat dan difasilitasi agar tetap berjalan secara berkelanjutan.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Simpulan
Adapun kesimpulan
yang diperoleh dari pembahasan diatas yaitu :
1. Pengelolaan
sumberdaya perikanan berbasis masyarakat (CBM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam/perikanan yang
meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar
pengelolaanya yang dimana dalam hal ini masyarakat lokal terlibat secara aktif
dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya
2. Kearifan lokal adalah suatu bentuk kearifan lingkungan
yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah, dimana
nilai-nilai ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi
ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia,
alam maupun gaib dan merupakan implementasi nilai luhur budaya Indonesia
dalam pengelolaan sumberdaya alamnya
3. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam prinsip kearifan
lokal merupakan dasar bagi pengelolan perikanan yang berkelanjutan yang memiliki
peranan yang sangat strategis dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan. Dan
sangat berhubungan erat dengan pengembangan sumberdaya perikanan menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumberdaya alam
4.2
Saran
Adapun saran
yang dapat diberikan dari penulisan makalah ini yaitu :
1.
Dalam upaya
pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan yang berbasis masyarakat
sebaiknya implementasi dari nilai-nilai kearifan lokal yang ada pada suatu
daerah perlu ditingkat sehingga dapat membangun
keserasian, keharmonisan antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, .
2.
Dalam upaya strategi pengelolaan, pengawasan sumberdaya perikanan
dan pemberdayaan masyarakat diharapkan
sedapat mungkin nilai kearifan lokal, tradisi/hukum adat beserta sistem
kelembagaan yang ada, baik kelembagaan fisik berupa struktur masyarakat adat
dan organisasi formal pemerintahan maupun lembaga swasta (dunia usaha dan LSM)
maupun kelembagaan non fisik dalam bentuk perangkat aturan secara hirarkis
Perda, Keputusan Bupati, Keputusan Camat, sampai Keputusan Desa hendaknya dapat
mengakomodir dan memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup, bertumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ablaza-Baluyut, E. 1995. The PhilippineFisheries Sector Program.
pp. 156-177. In: Coastaland Marine Environmental Management: Proceedingsof a
Workshop. Bangkok, Thailand, 27- 29, March, 1995. Asian Development Bank. pp.
331.
Anggoro, S,. 2004. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah. MSDP, UNDIP, Semarang.
Arief, Andi Adrie, 2008. Partisipasi Masyarakat Nelayan di Kabupaten
Takalar (Studi Kasus Desa Tamasaju, Kecamatan Galesong Utara). Jurnal Hutan
dan Masyarakat Vol. III No. 1 Mei 2008.
Bengen, D.G. 2004. Menuju
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS),
dalam Interaksi daratan dan Lautan :
Pengaruhnya terhadap Sumber Daya dan Lingkungan, Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan
Lautan. Diedit oleh W.B. Setyawan, dkk. Jakarta : Kedeputian Ilmu Pengetahuan Kebumian, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Bennett, C.F. 1983. Conservation
and Management of Natural Resources in The United States. Canada : John
Wiley&Sons. Inc
Buhat, D. 1994. Community-Based Coral Reef and Fisheries Management, San Salvador
Island, Philippines. In: White,A.T., L.Z. Hale, YRenard and L. Cortesi. (Eds.)
1994. Collaborative and Community-Based Management of Coral Reefs: Lessons from
Experience. Kumarian Press, West Hartford, Connecticut, USA. pp. 33-49
Calumpong H. 1993. The Role
ofAcademe in Community Based Coastal
Resource Management: The Case of APO Island.
In: Proceedings of the Seminar Workshop on Community-Based Coastal Resources
Management: Our Sea OurLife. Lenore P. C. (eds.). Voluntary Services Overseas,
New Manila, Quezon City, Philiphines.
Crawford, B.R., I. Dutton, C. Rotinsulu,
L. Hale. 1998. Community-Based Coastal
Resources Management in Indonesia: Examples and Initial Lessons from North
Sulawesi. Paper presented at International Tropical MarineEcosystem Management
Symposium, Townsville,
Australia, November 23-26. pp 299-309
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Dahuri, R., Rais,J., Ginting,
S.P., Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Jakarta : PT. Pradnya Paramita
Darma I N., B. M. (2010). Profil Kawasan Konservasi Perairan Nusa
Penida. Klungkung, Bali: Media
Francis Wahono, 2005. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman
Hayati, Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta Gunggung Seno
Aji, 2003.
Ghofar, A., 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Cipayung-Bogor.
Keraf, S. A., 2002. Etika Lingkungan.
Pn. Buku Kompas, Jakarta.
Nikijuluw, V.P.H, 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.
PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.
Nyamai-Kisia, C. 2010. Kearifan Lokal dan Pembnangunan Indonesia. PT. Pustaka. Jakarta.
Tulungen, J.J. 2000. Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis-Masyarakat di Sulawesi Utara. in Jurnal
Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado. Vol II, No 3, Oktober
2000. pp 24-41.
Undang-uandang Negara RI, Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan.
World Bank. 1999. Voices from theVillage: AComparativeStudyof Coastal Resource
Management in the Pacific Islands. Pacific Islands Discussion Paper Series
Number 9 (and No. 9ASummary Report). World Bank, East Asia and Pacific Region,
Papua New Guinea and Pacific Islands Country Management Unit. Washington D.C.
USA.
Langganan:
Postingan (Atom)